Kamis, 12 Oktober 2017

(CERPEN) SEKAR

Oleh : Pujangga Kelana

Sekar panik dihantui ketakutan. Teror mendadak menyergap. 10 orang berjubah putih menerobos, mengobrak-abrik karaoke yang baru 20 menit ia datangi. Sekar tidak mampu melarikan diri.  Para pengunjung lainnya lari berhamburan. Menghindari amukan. Sistuasi mencekam. Gaduh tidak karuan. Penerobos membabibuta memecahkan gelas dan botol minuman.
“Allahhuakbar!  Allahhuakbar!” seru peneror bersahutan
“Bakar! Bakar! Hancurkan! Bunuh!“ timpal yang lain dari luar, ikut memprokasi.
Sekar terkulai di lantai dekat shofa. Tulang kakinya seperti melumer, tak mampu menyanggah tubuhnya sendiri.
“Heh pelacur, berdiri kamu!“ bentak pengguna jubah putih yang bertubuh kurus.
Sekar semaput. Dia manut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, saat digusur paksa, digelandang ke luar.
“Kamu mucikari atau pelacur, hah?” sambut yang berjanggut tebal di ambang pintu, menjambak rambut Sekar. Mendorongnya ke sisi dinding.
“Allahhuakbar! Allahhuakbar!” kalimat takbir terus menggema bersahutan. Lantang memecah malam, menembus langit kelam tanpa bintang.
“Siapa pemilik karaoke ini?” tanya yang berjanggut tebal sambil membalikkan badannya ke belakang
“Saya pak!” seorang Tionghoa mengangkat tangannya. Ia ketakutan. Tubuhnya gemetar.
Sandra yang lain berkerumun, jongkok sambil menyembunyikan wajahnya, melindungi kepalanya menggunakan tas atau jaket miliknya.
“Kami sudah mengingatkan, jangan ada praktik prostitusi di sini. Tapi kalian tetap saja tidak menggubris peringatan itu.”
“Tempat ini hanya tempat karaoke biasa, Pak. Tidak ada praktik prostitusi,” kilah pemilik karaoke.
“Bohong!” sela yang berbadan tinggi dan gempal. “Orang ini saksinya,” dia mendorong Jeffry, keamanan karaoke yang baru 3 hari dipecat. “Dan ini, lihat! Coba kalian perhatikan, apa ini?” lanjutnya lagi semakin garang. Dibantingnya beberapa botol minuman keras ke aspal. Sekar menjerit histeris lengannya terkena pecahan botol. Perih, berdarah. Sekar terus memagingi lukanya. Tanpa ada yang memperdulikan.
“Betul saya saksinya,” Jeffry angkat bicara, “saya sudah berulang kali memperingatkan Bapak agar tidak menyediakan tempat untuk prostitusi di karaoke ini, tapi Bapak marah, berhujung pada pememecatan,” jelas Jeffry.
“Sudah bakar saja. Bakar!” pekik para pejubah putih itu keras.
“Allahhuakabar! Ya Allah…limpahkan laknat-Mu untuk para budak nafsu ini!” lengking suara yang berjanggut tebal sambil menengadahkan kedua tangnyanya ke langit, diantara gemuruh kalimat takbir.
Sementara itu, Sekar yang  berada dalam sekapan hanya bisa pasrah dengan apa pun yang akan menimpanya. Sakit, pedih dan takut adalah komposisi ampuh, membuatnya serasa lumpuh. Dan tiba – tiba, “huff!” Hamzah mencul dari balik kerumunan pengguna jubah putih. Melompat raih tubuh Sekar, belati tajam terhunus mengancam. Hamzah berlari membawa Sekar menghilang dibalik temaram. Menjauh dan semakin jauh dari tempat terkutuk itu.
Melihat itu pria-pria yang mengaku Mujahid itu hanya bengong. Seperti anak kehilangan mainan. Saling menatap. Bicara dengan tatapan.
Merasa situasi aman. Hamzah menghentikan langkahnya. Sekar menyusul dari belakang. Napasnya terengah. Hampir  pingsan kelelahan.
“Kamu lari terlalu cepat. Hampir aku tertinggal jauh,” omel Sekar, protes.
“Ah kamu memang keong,” Hamzah duduk di sisi trotoar dengan setengah menjatuhkan diri.
Sekar mencoba mengenali wajah dingin Hamzah. Namun nihil. Ini raut muka yang sangat asing. Belum pernah dikenal sebelumnya.
“Kamu siapa? kok tiba – tiba muncul dan menyelamatkan aku?” tanya Sekar sembari mengendalikan napasnya yang belum normal.
“Naluriku. Tidak tega meihat orang teraniaya,” ujar Hamzah sangat dingin. Kemdian bangkit dan beranjak meninggalkan Sekar.
“Hei! Mau kemana kamu?” Sekar mengejar. Meraih bagian belakang jaket hitam Hamzah dan menariknya keras.
“Kamu sudah memaksa aku ke tempat ini. Terus mencampakan aku begitu saja?” Sekar marah. Kecewa tidak diperdulikan.
“Kamu sudah selamat dari orang-orang kalap itu. Di sini aman. Aku mau pergi, kamu pulang saja sendiri.”
Hamzah mengibaskan tangan Sekar hingga tubuhnya oleng, hamir tersungkur.
“Heh! Kurang ajar yah! Aku tidak tahu arah. Tempat ini asing bagiku. Kemana aku harus mencari jalan untuk menemukan rumah tempat tinggalku?” Sekar terus mengikuti langkah Hamzah. Ia lari terhuyung ke depan Hamzah. Mencegatnya dengan merentangkan kedua tangan. “Apa kamu tidak membutuhkan sekedar ucapan terima kasih dari aku yang sudah kamu tolong? “ rajuk Sekar. Napasnya masih terengah – engah.
Hamzah menyeringai dingin. Wajah saljunya semakin beku disaput angin tengah malam, menjelang pagi. Sekar hampir terjengkang ketika Hamzah yang kekar itu menabraknya.
“Hai! Apa ada orang di sini?“ teriak Sekar. mulutnya hampir nempel ke telinga Hamzah. “Boleh kan aku meminta sedikit perhatian dari kamu? Meminta tanggung jawab kamu yang sudah membawa kabur aku ke tempat ini? Boleh kan aku mendengar sedikit suara kamu menanggapi kata-kata aku? Apa kamu bisu? Kamu dungu, hah?”
“Diam!“ bentak Hamzah sambil meraih lengan Sekar yang memukuli bahunya.
“Aduh!” ringis Sekar. Luka bekas pecahan botol di lengannya diremas kuat jemari Hamzah. Darah segar kembali ke luar, basahi telapak tangan Hamzah. Wajah dinginnya sedikit melumer. Ada kehawatiran di raut mukanya. Bergegas menarik lengan Sekar ke kedai kopi di tepi jalan. Kedai kaki lima di selasar depan gedung perkantoran yang hanya operasi di malam hari. Kedai yang juga menyediakan rokok, obat-obatan, bahkan alat kontrasepsi.
“Ada obat luka, mas?” tanya Hamzah.
Sekar duduk di bangku kayu panjang, membelakangi meja.
“Ada,” sahut pedagang sambil menyodorkan betadine.
“Sekalian handiplasnya tiga,” pinta Hamzah. Segera dikeluarkannya obat luka dari kemasan. Memotong ujung tutup botol plastiknya dengan belati agar berlubang. “Sekalian kapas, mas,” pintanya lagi.
Pedagang yang baru saja memberikan handiplas, bergegas mencari kapas. Jadi sibuk juga melayani Hamzah.
“Aduh. Pelan-pelan dong! Sakit nih!” Sekar merintih, saat Hamzah merekatkan handiplas yang ke-3 di atas luka.
 “Kamu tinggal dimana?”
Sekar menoleh ke Hamzah. Ia tidak percaya, gunung es itu mulai lumer.
“Jembatan lima.”
“Alah! Aku kira dari planet Mars, Pluto atau negeri antah berantah. Ini masih Harmoni, neng. Di depan sana jalan Hayammuruk, masih kawasan Kota. Kenapa tadi merengek-rengek tidak tahu arah jalan pulang, segala?” hardik Hamzah. “Cepat habiskan minumanmu, aku antar ke depan. Pakai taksi saja, hari sudah hampir pagi.”
Hamzah membayar semuanya, walau Sekar mencegah. Keduanya beranjak pergi. Menelusuri selasar ruko yang sepi.
Dari sebuah lorong kecil yang gelap, bermunculan 5 orang lelaki berjaket hitam menghentikan langkah Hamzah. Salah seorang dari mereka mendekap tubuh Hamzah dari belakang. Satu orang lagi menghantam perut Hamzah dengan kepalnya yang bulat lagi keras. Hamzah meringis. Sakitnya tak terhingga. Seisi perutnya terasa hancur lebur.
“Tolong!” teriak Sekar, berharap ada orang yang mendengarnya.
“Diam!” yang satu orang lagi mendekap Sekar, menyumpal mulutnya dengan telapak tangan. Kasar sekali.
“Jangan menghindar terus kamu. Dua hari kami mencari, baru ketemu di sini,” ujar yang bertubuh paling gempal dan berwajah kasar, seraya mengangkat dagu Hamzah dengan jemari tangan kirinya. Tangan kanan melayang ke pipi kiri, keras sekali. Darah perlahan mengalir dari sudut bibir Hamzah. “Mana janji kamu melunasi hutang? Sudah lewat dua hari! Mau lari dari tanggung jawab, yah?” lanjutnya sambil menggeledah saku celana  Hamzah. Dari dompet yang diambilnya, hanya ada 1 lembar 50.000 dan 4 lembar 2000. Uang itu diambilnya, sedang dompetnya dilemparkan ke wajah Hamzah.
Melihat Hamzah tidak berdaya, Sekar berontak melepaskan diri. Tangan yang menyumpal mulutnya digigit dengan keras. Sambil berbalik, mengayunkan kaki ke selangkangan.
“Aduh!” keluhnya. Tubuhnya terhuyung, membungkuk menahan nyeri.
“Hentikan!”teriak Sekar,“jangan kalian teruskan tindakan bodoh ini”lanjutnya. “berapa hutang yang harus dia bayar? Saya akan membayar semuanya,” menunjukkan dompet yang diambilnya dari tas kecil
Perhatian ke-5 lelaki berjaket hitam itu berpaling pada Sekar. Hamzah dicampakan bagai sampah. Terpuruk di sisi dinding ruko yang sudah tutup. Sekar memburu tubuh lunglai Hamzah. Memeluknya erat. “Berapa saya harus bayar?“ ulang Sekar. Ia menangis tersedu. Khawatir melihat kondisi Hamzah.
“Hahahah! Hebat! Heba!” ledek yang bertubuh gempal. “Pelacur cantik rela berkorban demi si bodoh lagi dungu ini, rupanya? Hebat! Hebat!” lanjutnya disertai tepuk tangan.
“Heh! cepat bilang, berapa hutang dia yang harus dibayar?” desak Sekar ingin segara terbebas dari suasana tidak nyaman ini. Dengan sigap mengambil belati dari pinggang Hamzah dan dibidkkan ke arah mereka dengan wajah beringas
“Sabar! Sabar! Semua bisa diatur,” mereka mundur, menjaga jarak. “Cukup 500.000 saja,” sahut Si Tubuh Gempal, merendahkan suaranya.
Sekar mengambil 5 lembar uang seratusribuan dari dompet dan melemparkannya hingga berhamburan. Dengan tetap waspada yang bertubuh gempal memunguti uang dari tanah. Berdiri perlahan terus mencium uang beberapa kali sambil tertawa. Lantas pergi. Menghilang ditelan lorong kecil yang gelap lagi sepi.
Sekar menyeka darah yang mulai mengental dari bibir dan dagu Hamzah dengan sapu tangan. Hamzah menepis tangan Sekar. Berusaha bangkit sambil meringis menahan sakit. Baru berapa langkah, Hamzah terseok. Sekar menangkapnya namun beban terlampau berat, mereka jatuh bersamaan.
“Sudah…sudah. Istirahat saja dulu di sini,” Hamzah dipapah ke lantai depan ruko yang lantainya agak bersih. Dibaringkan, kepalanya diganjal tas kecil sebagai bantal. “Tunggu sebentar. Aku kembali ke warung tadi mengambil sisa obat luka dan barang kali ada obat pereda nyeri yang dijual di situ. Tolong jangan kemana-mana, hanya sebentar,” pesan Sekar.
Setengah berlari Sekar kembali, namun Hamzah sudah tidak ada di tempat. Tinggal tas kecil miliknya tergeletak. Sekar mencari ke sekiling. Sepi. Hamzah seperti hilang ditelan bumi. Di lantai putih dekat tas kecil miliknya, tertulis kata “pulang!” menggunakan bercak darah.
“Hhmmm…lelaki misterius,” gumamnya disela helaan napas panjang, melepas beban.
Malam begitu panjang bagi Sekar. Serangkaian kejadian beruntun, melelahkan. Menyisakan trauma dan ketakutan. Dibawanya rasa itu dalam sujud shalat subuh, sesampainya di rumah. Ia tak sempat sekejap pun tidur malam tadi. Mentari menjemputnya sejak di pintu taksi yang mengantarkannya pulang. Shalat subuh pun agak telat, namun dia harus menunaikannya. Ada tangis perih yang ingin ditumpahkannya segera. Mohon apun atas teguran-Nya.
“Ya Allah…Ya Ghaffaar…Ya Raqiib…yang teramat kuasa mengawasi setiap insan. Maha mampu membaca hati dan pikiran. Teguran-Mu menggugah kesadaran. Membuat terperangah dari mimpi melenakan. Hamba sadar salah menentukan jalan. Melanggar segala larangan. Terbuai harapan yang  hamba reka sendiri dengah kebodohan. Berilah hamba ampunan. Arahkan jalan hamba menuju kebenaran, jalan yang lurus ke surga yang Kau janjikan.
Ya Allah…hamba sadar, pilihan ini sangat keliru. Hidup tak mentu, mencari dunia bukan di jalan-Mu. Hamba tidak memiliki pilihan lain selain jalan itu. Jalan yang hamba harap dapat melihat senyum bahagia di bibir mungil kedua adik dan ibuku.
Ya Allah…Ya Shomad…hamba bersimpuh luruh sepenuh hati sungguh tanpa paksa. Hamba lacurkan keimanan ini dengan sengaja, buntu pikir, akal dan jiwa. Jalan lain di benakku, tiada. Jika siksa itu kemudian hamba terima, hamba rela asalkan adik dan ibu hamba bahagia.
Aamiin!”
Butiran bening air mata pun basahi pipi, hingga mukena. Hilang daya. Musnah gairah melanjutkan perjalanan waktu yang kian gamangkan jiwa Sekar. Ditolehnya putih abu dan hijab yang tergantung di balik pintu. Bungkus kemunafikan yang harus segera ia perankan kembali di sekolah. Mengelabui teman-teman dan semua guru dengan sandiwara dusta. Dalam episode yang terlanjur dinikmatinya.
“Kak…aku harus beli buku pembahasan soal UN untuk latihan,” rengek Santi, “teman-temanku sudah punya semua,” lanjutnya.
“Itu bekas kakak kan ada. Gunakan saja itu dulu. Nanti kalau kakak punya uang, kakak belikan di Senen,” ujar Sekar sambil memasang tali sepatu.
“Terbitan tahun berapa, kak. kadaluarsa?”
“Materi soalnya sama saja, Santi. Hanya cara pendalamannya yang beda. Kan kakak tadi bilang, nanti kalau kakak punya uang, kakak akan beli yang baru.”
“Terus janji kakak membelikan sepatu Sadam, gimana kak?” tegur Sadam, adik Sekar yang paling kecil. “Lihat tuh, sobeknya sudah membesar. Teman – teman selalu mengejek Sadam. Kata mereka sepatu Sadam lapar, mulutnya mengaga terus minta makan,” Sadam menunjukkan sepatunya yang sudah menganga lebar bagian depannya.
“Sudah lah Sadam, Santi, jangan mengganggu kakakmu. Ayo cepat sarapan sana, hari semakin siang,” lerai bu Sarah diselingi batuk berkepanjangan. Dua tahun sudah bakteri Mikobakterium tuberkulosa menggerogoti paru-parunya. Bu Sarah harus meminum obat Puskesmas rutin tanpa putus selama 6 bulan. Penyakit itu pula yang mekmaksa Sekar menjalani dunia malamnya. Berharap dapat mengobati ibunya di rumah sakit yang lebih baik.
“Pulang sekolah, jangan lupa mampir ke Puskesmah yah, Sekar. Obat ibu tinggal untuk siang ini saja.”
“Iya, Bu,” sahut Sekar.
Pengobatan gratis di Puskesmas, terasa sangat lamban meredakan sakit Bu Sarah. Sekar merasa berdosa tidak mampu memberikan yang terbaik untuk ibunya. Uang dari melayani birahi hidung belang hanya menutupi  kebutuhan makan harian dan kontrakan rumah setiap bulan. Hari ini, malah dompetnya terkuras habis demi melunasi hutang Hamzah yang misterius.
“Santi, Sadam. Jangan terlampau banyak menuntut pada kakakmu yah, Nak,” nasihat  Bu Sarah. “Yang penting kalian bisa sekolah. Kurang sedikit-sedikit soal buku, sepatu atau seragam, jangan jadi penghalang kalian untuk semangat belajar di sekolah. Tujuan kita hanya satu, bagaimana caranya bisa pintar, menjadi anak shaleh dan shalehah,” lanjut Bu Sarah sebelum melepas anak – anaknya berangkat ke sekolah. “doa ibu selalu menyertai kalian, Nak.”
“Ya, Bu, asalammualaikum!” sahut Sinta dan Sadam bersamaan. Usai mencium tangan ibunya mereka pun pergi.
“Sekar juga pamit yah bu. Jangan lupa sarapan, terus minum obatnya,” Sekar mengingatkan. Memeluk ibunya penuh cinta. Hangat terasa. Meski kemudian batinnya merintih, sesal menyelinap dalam hati. Dia bukan anak shalehah seperti yang diharapkan ibunya.


SEKIAN

(Ilustrasi gambar diambil dari )
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEMz2C8HidPV5qbRM8hqLXe35udAv5ooA_NOks8L6Iyf2kGdz1MjaKDUexcyDWNqOvHcjJlEHYpPQeTzCElD0v2qPGt6pE6COsGrxWt341qRq97Ks2xGxEg7mT0aL-K1jncij3FQ-yXZC5/s1600/Gambar-Orang-Sedih-dan-Menangis-33.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar