Senin, 09 Oktober 2017

MENJADI GURU SIAP “MOVE ON” DALAM PELAKSANAAN KURIKULUM 2013

Oleh : Nina Krisna Ramdhani

Pro-kontra ihwal kurikulum 2013 mulai surut. Guru, siswa dan orang tua siswa, suka tidak suka akan menerimanya sebagai sebuah kebijakan baru pemerintah yang wajib diimplementasikan. “Road Show” pendampingan kurikulum 2013 pun telah dilaksanakan disemua jenjang pendidikan dan ditargetkan rampung di tahun depan.
Kurikulum adalah pintu masuk perubahan kultur sekolah yang di dalamnya terdapat komponen guru, siswa, dan orang tua siswa. Bahwa ditengah proses ujicoba, pendampingan dan implementasi kurikulum baru terjadi “kegalauan” dibenak para guru, namun muncul pula gairah dan optimisme akan adanya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa dalam kurikulum 2013 ada usaha terpadu antara rekonstruksi kompetensi lulusan, dengan kesesuaian dan kecukupan, keluasan dan kedalaman materi,  revolusi pembelajaran dan  reformasi penilaian.    
Revolusi pembelajaran yang dicita-citakan dalam kurikulum 2013 merupakan cita-cita perubahan mendasar dalam menciptakan pembelajaran dari yang selama ini menggunakan pendekatan tradisional (Teacher Centered) menuju pembelajaran yang berpusat pada anak (student centered) yang selaras dengan teori-teori pendidikan mutakhir berstandar internasional. Beberapa pendekatan yang diharapkan dapat digunakan oleh guru diantaranya pendekatan belajar aktif (active learning), pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), pembelajaran berpusat pada siswa (student centered learning), pembelajaran tematik terpadu, pendekatan saintifik, inquiry, discovery learning, project based  learning, serta pendekatan konstruktivisme (constructivism approach) dimana siswa secara aktif menggunakan pikirannya untuk membangun sebuah pemahaman.
Semangat revolusi pembelajaran ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, dan tercipta perubahan-perubahan mendasar yang diinginkan pada ranah kognitif, apektif dan psikomotor sumber daya manusianya. Namun pertanyaannya adalah, “Apakah ada kemauan guru untuk berubah?” Karena tanpa ada kemauan untuk mengubah kebiasaan mengajar yang lama, pergantian kurikulum secanggih apapun tidak akan pernah menghasilkan perubahan yang bermakna. Iklan sebuah produk minuman apapun makanannya minumnya teh botol sosro diplesetkan menjadi guyonan sinis “Apapun kurikulumnya, mengajarnya begitu-begitu juga”. Sakitnya tuh disini…karena sindiran itu berarti guru dinilai tidak mau berubah. Guru tidak siap move on. Kata move on adalah serapan dari bahasa Inggris yang berarti pindah. Anak-anak remaja sering menggunakan istilah move on bagi mereka yang sedang putus cinta yaitu pindah ke lain hati. Namun Move on itu sendiri sebenarnya bersifat general. Bisa berarti pindah ke lingkungan baru, pindah ke suasana lain, adaptasi ke kehidupan baru, atau dapat juga diartikan sebagai membuka diri untuk menerima keadaan yang berubah. Nah, pengertian yang terakhir itulah yang cocok digunakan untuk tema guru yang sedang kita bahas disini.
Sebenarnya apa sih persoalan kronis pendidikan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini beberapa persoalan pendidikan dapat disebutkan diantaranya praktik kelas yang membosankan. Guru-guru mengajar dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik minimal sehingga aktivitas kelas bagaikan ritual. Sedikit sekali sekolah di Indonesia membantu menumbuhkan potensi seorang murid. Pembelajaran di sekolah sangat menjemukan dan miskin imajinasi. Kemampuan guru tidak lebih baik pasca sertifikasi. Dari berbagai hasil riset menunjukkan bahwa kebanyakan guru di Indonesia masih mengajar menggunakan pendekatan tradisional (teacher centered) yang memosisikan siswa sebagai objek pasif dalam belajar. Kuatnya paradigma tradisional dapat dipastikan akan menghambat pengembangan kurikulum dan proses pembelajaran yang bertujuan mendorong siswa lebih aktif berkegiatan untuk membangun suatu pemahaman, keterampilan, dan sikap/perilaku tertentu (active learning) sehingga pembelajaran lebih bermakna. Hal tersebut diperkuat lagi oleh berbagai hasil penelitian yang dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menunjukkan kompetensi pedagogi dan professional guru rata-rata rendah. Hasil uji kompetensi awal (UKA) 2012 memperlihatkan hanya 42,25 (skala 100) yang dinyatakan kompeten. Sementara nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) 2014 rata-rata 47,6. Keadaan ini akan terus berlangsung apabila tidak ditangani secara tepat dan serius. Nah lho! Hasil riset yang mak jleb tembus sampai lubuk hati yang paling dalam. Hiks!
Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini sekolah masih dianggap sebagai pusat peradaban siswa. Dan dalam usaha membangun manusia Indonesia seutuhnya, guru merupakan ujung tombak atau garda terdepan. Tugas guru sesungguhnya sangatlah berat dan rumit karena menyangkut nasib dan masa depan generasi manusia. Sering kita dengar tuntutan dan harapan masyarakat agar guru harus mampu mencerminkan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat ideal dimasa depan. Akibat tuntutan yang berlebihan, seringkali guru menjadi cemooh masyarakat ketika hasil kerjanya kurang memuaskan. Apalagi saat ini masyarakat memandang guru telah sejahtera dengan diterimanya tunjangan profesi. Sehingga tuntutan peningkatan kualitas pendidikan semakin banyak dibebankan kepada guru. Oiya, seolah diingatkan bahwa ada 30% alokasi dana sertifikasi yang wajib digunakan untuk biaya peningkatan kompetensi professional. Jadi ingat, jangan semuanya dibelanjakan untuk konsumsi ya…
Mengingat demikian strategisnya peran guru, maka guru dituntut memiliki kompetensi professional yang memadai. Termasuk salah satunya adalah kompetensi guru dalam melaksanakan kurikulum. Dengan kata lain, inti proses pembelajaran atau roh sejati yang paling substansi pada kurikulum 2013 adalah mencerdaskan anak dengan memberikan ruang bagi pikiran anak (memerdekakan pikiran anak) untuk menggunakan pikirannya sendiri dalam bereksplorasi, berkreasi, dan mengembangkan kemampuan konseptualisasinya melalui proses coba dan gagal (trial and error). Siswa menggunakan seluruh kemampuan berpikirnya untuk melakukan analisis dan menyusun kesimpulan. Kegiatan pembelajaran seperti ini akan menyebabkan siswa mampu berpikir inovatif dan kreatif. Aktivitas belajar akan menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan (joyfull learning), bukan memenjarakan!
Peran guru yang diharapkan adalah peran sebagai manager dan direktur yang merancang serangkaian kegiatan yang harus dilakukan siswa, memberi pengantar, arahan, mendampingi dan mengawasi siswa dalam dialektika mencari jawaban, dan memberikan umpan balik atau penguatan. Kreatifitas dan inovasi guru juga ditantang untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar yang tersedia disekitar siswa dan menciptakan kegiatan belajar  yang lebih menantang, atraktif dan sesuai dengan karakteristik anak dan lingkungan setempat. By The Way, gaji guru,  tunjangan sertifikasi dan tunjangan lain yang melekat didalamnya sudah setaraf manager dan direktur belum ya? Jika sudah, ayo jangan “mager” alias males gerak. Segera lakukan kreatifitas dan inovasi yang menantang dan atraktif dalam pembelajaran. Tetapi jika dirasa belum setaraf, mari kita berdoa dan bekerja lebih keras lagi agar Tuhan memberi kita rejeki dari pintu-pintu yang tidak kita duga…Aamin.
Jadi, apa saja kiat-kiat agar bisa menjadi guru siap move on dalam melaksanakan kurikulum 2013? Kiat pertama adalah ikhlas menerima perubahan kurikulum. Karena dengan ikhlas, kita akan diberi kekuatan untuk menjalankan tantangan seberat apapun yang akan dihadapi. Kedua, membuka diri terhadap perubahan yang baru. Bahwa saat ini peran guru telah berubah dari sebagai penyampai pengetahuan, sumber utama informasi, ahli materi, dan sumber segala jawaban, menjadi fasilitator pembelajaran, pelatih, kolaborator, navigator pengetahuan dan mitra belajar. Dari mengendalikan dan mengarahkan semua aspek pembelajaran, menjadi lebih banyak memberikan alternatif dan tanggungjawab kepada setiap siswa dalam proses pembelajaran. Sementara itu peran siswa dalam pembelajaran juga mengalami perubahan yaitu dari penerima informasi yang pasif menjadi partisipan aktif dalam proses pembelajaran. Dari mengungkapkan kembali pengetahuan menjadi menghasilkan berbagai pengetahuan. Dari pembelajaran sebagai aktifitas individual (soliter) menjadi pembelajaran berkolaboratif dengan siswa lain. Kiat ketiga yaitu menjadi pembelajar sepanjang hayat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, sosial media dsb. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa.

Nah, dalam hal melek teknologi informasi dan komunikasi, masih banyak ditemukan guru-guru yang belum menguasai alias “gaptek” alias gagap teknologi. Dibutuhkan kemauan untuk belajar menguasai teknologi informasi agar guru tidak tergilas jaman atau istilah lainnya out of date. Intinya guru harus mau terus-menerus belajar secara berkesinambungan (continuing learning) agar dapat memperbaharui pengetahuannya dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru kapanpun dan dimanapun (5W+1H = whatever, whenever, wherever, whoever, why and however). Jika gurunya sudah update dan sering upgrade pengetahuan, dijamin akan terhindar dari kondisi “baper” ketika mengajar berhadapan dengan generasi millennium yang high-tech dan high thinking order. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar