Oleh : Nina Krisna Ramdhani
Pro-kontra
ihwal kurikulum 2013 mulai surut. Guru, siswa dan orang tua siswa, suka tidak
suka akan menerimanya sebagai sebuah kebijakan baru pemerintah yang wajib
diimplementasikan. “Road Show”
pendampingan kurikulum 2013 pun telah dilaksanakan disemua jenjang pendidikan
dan ditargetkan rampung di tahun depan.
Kurikulum
adalah pintu masuk perubahan kultur sekolah yang di dalamnya terdapat komponen
guru, siswa, dan orang tua siswa. Bahwa ditengah proses ujicoba, pendampingan
dan implementasi kurikulum baru terjadi “kegalauan” dibenak para guru, namun muncul
pula gairah dan optimisme akan adanya peningkatan kualitas pendidikan di
Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa dalam kurikulum 2013 ada usaha terpadu antara
rekonstruksi kompetensi lulusan, dengan kesesuaian dan kecukupan, keluasan dan
kedalaman materi, revolusi pembelajaran
dan reformasi penilaian.
Revolusi
pembelajaran yang dicita-citakan dalam kurikulum 2013 merupakan cita-cita
perubahan mendasar dalam menciptakan pembelajaran dari yang selama ini menggunakan
pendekatan tradisional (Teacher Centered)
menuju pembelajaran yang berpusat pada anak (student centered) yang selaras dengan teori-teori pendidikan
mutakhir berstandar internasional. Beberapa pendekatan yang diharapkan dapat
digunakan oleh guru diantaranya pendekatan belajar aktif (active learning), pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), pembelajaran berpusat pada siswa
(student centered learning),
pembelajaran tematik terpadu, pendekatan saintifik, inquiry, discovery
learning, project based learning, serta
pendekatan konstruktivisme (constructivism
approach) dimana siswa secara aktif menggunakan pikirannya untuk membangun
sebuah pemahaman.
Semangat
revolusi pembelajaran ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia, dan tercipta perubahan-perubahan mendasar yang diinginkan pada ranah
kognitif, apektif dan psikomotor sumber daya manusianya. Namun pertanyaannya
adalah, “Apakah ada kemauan guru untuk berubah?” Karena tanpa ada kemauan untuk
mengubah kebiasaan mengajar yang lama, pergantian kurikulum secanggih apapun
tidak akan pernah menghasilkan perubahan yang bermakna. Iklan sebuah produk
minuman apapun makanannya minumnya teh botol sosro diplesetkan menjadi guyonan
sinis “Apapun kurikulumnya, mengajarnya begitu-begitu juga”. Sakitnya tuh
disini…karena sindiran itu berarti guru dinilai tidak mau berubah. Guru tidak
siap move on. Kata move on adalah serapan dari bahasa
Inggris yang berarti pindah. Anak-anak remaja sering menggunakan istilah move on bagi mereka yang sedang putus
cinta yaitu pindah ke lain hati. Namun Move
on itu sendiri sebenarnya bersifat general. Bisa berarti pindah ke
lingkungan baru, pindah ke suasana lain, adaptasi ke kehidupan baru, atau dapat
juga diartikan sebagai membuka diri untuk menerima keadaan yang berubah. Nah, pengertian
yang terakhir itulah yang cocok digunakan untuk tema guru yang sedang kita
bahas disini.
Sebenarnya apa sih persoalan
kronis pendidikan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini beberapa persoalan
pendidikan dapat disebutkan diantaranya praktik kelas yang membosankan. Guru-guru
mengajar dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik minimal
sehingga aktivitas kelas bagaikan ritual. Sedikit sekali sekolah di Indonesia
membantu menumbuhkan potensi seorang murid. Pembelajaran di sekolah sangat
menjemukan dan miskin imajinasi.
Kemampuan
guru tidak lebih baik pasca sertifikasi. Dari berbagai
hasil riset menunjukkan bahwa kebanyakan guru di Indonesia masih mengajar
menggunakan pendekatan tradisional (teacher
centered) yang memosisikan siswa sebagai objek pasif dalam belajar. Kuatnya
paradigma tradisional dapat dipastikan akan menghambat pengembangan kurikulum
dan proses pembelajaran yang bertujuan mendorong siswa lebih aktif berkegiatan
untuk membangun suatu pemahaman, keterampilan, dan sikap/perilaku tertentu (active learning) sehingga pembelajaran
lebih bermakna. Hal tersebut diperkuat lagi oleh berbagai hasil penelitian
yang dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menunjukkan
kompetensi pedagogi dan professional guru rata-rata rendah. Hasil uji
kompetensi awal (UKA) 2012 memperlihatkan hanya 42,25 (skala 100) yang
dinyatakan kompeten. Sementara nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) 2014 rata-rata
47,6. Keadaan ini akan terus berlangsung apabila tidak ditangani secara tepat
dan serius. Nah lho! Hasil riset
yang mak jleb tembus sampai lubuk hati yang paling dalam. Hiks!
Tidak
dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini sekolah masih dianggap sebagai pusat
peradaban siswa. Dan dalam usaha membangun manusia Indonesia seutuhnya, guru
merupakan ujung tombak atau garda terdepan. Tugas guru sesungguhnya sangatlah
berat dan rumit karena menyangkut nasib dan masa depan generasi manusia. Sering
kita dengar tuntutan dan harapan masyarakat agar guru harus mampu mencerminkan
tuntutan situasi dan kondisi masyarakat ideal dimasa depan. Akibat tuntutan
yang berlebihan, seringkali guru menjadi cemooh masyarakat ketika hasil
kerjanya kurang memuaskan. Apalagi saat ini masyarakat memandang guru telah
sejahtera dengan diterimanya tunjangan profesi. Sehingga tuntutan peningkatan
kualitas pendidikan semakin banyak dibebankan kepada guru. Oiya, seolah
diingatkan bahwa ada 30% alokasi dana sertifikasi yang wajib digunakan untuk
biaya peningkatan kompetensi professional. Jadi ingat, jangan semuanya
dibelanjakan untuk konsumsi ya…
Mengingat
demikian strategisnya peran guru, maka guru dituntut memiliki kompetensi
professional yang memadai. Termasuk salah satunya adalah kompetensi guru dalam
melaksanakan kurikulum. Dengan kata lain, inti proses pembelajaran atau roh sejati
yang paling substansi pada kurikulum 2013 adalah mencerdaskan anak dengan memberikan
ruang bagi pikiran anak (memerdekakan pikiran anak) untuk menggunakan
pikirannya sendiri dalam bereksplorasi, berkreasi, dan mengembangkan kemampuan
konseptualisasinya melalui proses coba dan gagal (trial and error). Siswa menggunakan seluruh kemampuan berpikirnya
untuk melakukan analisis dan menyusun kesimpulan. Kegiatan pembelajaran seperti
ini akan menyebabkan siswa mampu berpikir inovatif dan kreatif. Aktivitas
belajar akan menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan (joyfull learning), bukan memenjarakan!
Peran
guru yang diharapkan adalah peran sebagai manager dan direktur yang merancang
serangkaian kegiatan yang harus dilakukan siswa, memberi pengantar, arahan,
mendampingi dan mengawasi siswa dalam dialektika mencari jawaban, dan
memberikan umpan balik atau penguatan. Kreatifitas dan inovasi guru juga
ditantang untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar yang tersedia disekitar
siswa dan menciptakan kegiatan belajar
yang lebih menantang, atraktif dan sesuai dengan karakteristik anak dan
lingkungan setempat. By The Way, gaji
guru, tunjangan sertifikasi dan
tunjangan lain yang melekat didalamnya sudah setaraf manager dan direktur belum
ya? Jika sudah, ayo jangan “mager” alias males gerak. Segera lakukan
kreatifitas dan inovasi yang menantang dan atraktif dalam pembelajaran. Tetapi
jika dirasa belum setaraf, mari kita berdoa dan bekerja lebih keras lagi agar
Tuhan memberi kita rejeki dari pintu-pintu yang tidak kita duga…Aamin.
Jadi, apa saja kiat-kiat agar bisa
menjadi guru siap move on dalam melaksanakan
kurikulum 2013? Kiat pertama adalah
ikhlas menerima perubahan kurikulum. Karena dengan ikhlas, kita akan diberi
kekuatan untuk menjalankan tantangan seberat apapun yang akan dihadapi. Kedua, membuka diri terhadap perubahan
yang baru. Bahwa saat ini peran guru telah berubah dari sebagai penyampai
pengetahuan, sumber utama informasi, ahli materi, dan sumber segala jawaban, menjadi
fasilitator pembelajaran, pelatih, kolaborator, navigator pengetahuan dan mitra
belajar. Dari mengendalikan dan mengarahkan semua aspek pembelajaran, menjadi
lebih banyak memberikan alternatif dan tanggungjawab kepada setiap siswa dalam
proses pembelajaran. Sementara itu peran siswa dalam pembelajaran juga
mengalami perubahan yaitu dari penerima informasi yang pasif menjadi
partisipan aktif dalam proses pembelajaran. Dari mengungkapkan kembali
pengetahuan menjadi menghasilkan berbagai pengetahuan. Dari pembelajaran
sebagai aktifitas individual (soliter) menjadi pembelajaran
berkolaboratif dengan siswa lain. Kiat ketiga
yaitu menjadi pembelajar sepanjang hayat. Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam
proses pembelajaran. Komunikasi
sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi
seperti telepon, komputer, internet, e-mail, sosial media dsb. Interaksi antara
guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga
dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan
layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa.
Nah, dalam hal melek teknologi
informasi dan komunikasi, masih banyak ditemukan guru-guru yang belum menguasai
alias “gaptek” alias gagap teknologi. Dibutuhkan kemauan untuk belajar
menguasai teknologi informasi agar guru tidak tergilas jaman atau istilah
lainnya out of date. Intinya guru
harus mau terus-menerus belajar secara berkesinambungan (continuing learning) agar dapat memperbaharui pengetahuannya dan
mendapatkan pengalaman-pengalaman baru kapanpun dan dimanapun (5W+1H = whatever, whenever, wherever, whoever, why
and however). Jika gurunya sudah update
dan sering upgrade pengetahuan,
dijamin akan terhindar dari kondisi “baper” ketika mengajar berhadapan dengan
generasi millennium yang high-tech
dan high thinking order. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar