Sekar panik dihantui
ketakutan. Teror mendadak menyergap. 10 orang berjubah putih menerobos, mengobrak-abrik
karaoke yang baru 20 menit ia datangi. Sekar tidak mampu melarikan diri. Para pengunjung lainnya lari berhamburan. Menghindari
amukan. Sistuasi mencekam. Gaduh tidak karuan. Penerobos membabibuta memecahkan
gelas dan botol minuman.
“Allahhuakbar! Allahhuakbar!” seru peneror bersahutan
“Bakar! Bakar!
Hancurkan! Bunuh!“ timpal yang lain dari luar, ikut memprokasi.
Sekar terkulai di
lantai dekat shofa. Tulang kakinya seperti melumer, tak mampu menyanggah
tubuhnya sendiri.
“Heh pelacur, berdiri
kamu!“ bentak pengguna jubah putih yang bertubuh kurus.
Sekar semaput. Dia
manut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, saat digusur paksa, digelandang ke
luar.
“Kamu mucikari atau pelacur, hah?” sambut yang berjanggut
tebal di ambang pintu, menjambak rambut Sekar. Mendorongnya ke sisi dinding.
“Allahhuakbar!
Allahhuakbar!” kalimat takbir terus menggema bersahutan. Lantang memecah malam,
menembus langit kelam tanpa bintang.
“Siapa pemilik karaoke
ini?” tanya yang berjanggut tebal sambil membalikkan badannya ke belakang
“Saya pak!” seorang
Tionghoa mengangkat tangannya. Ia ketakutan. Tubuhnya gemetar.
Sandra yang lain
berkerumun, jongkok sambil menyembunyikan wajahnya, melindungi kepalanya
menggunakan tas atau jaket miliknya.
“Kami sudah
mengingatkan, jangan ada praktik prostitusi di sini. Tapi kalian tetap saja
tidak menggubris peringatan itu.”
“Tempat ini hanya
tempat karaoke biasa, Pak. Tidak ada praktik prostitusi,” kilah pemilik
karaoke.
“Bohong!” sela yang
berbadan tinggi dan gempal. “Orang ini saksinya,” dia mendorong Jeffry,
keamanan karaoke yang baru 3 hari dipecat. “Dan ini, lihat! Coba kalian perhatikan,
apa ini?” lanjutnya lagi semakin garang. Dibantingnya beberapa botol minuman
keras ke aspal. Sekar menjerit histeris lengannya terkena pecahan botol. Perih,
berdarah. Sekar terus memagingi lukanya. Tanpa ada yang memperdulikan.
“Betul saya saksinya,”
Jeffry angkat bicara, “saya sudah berulang kali memperingatkan Bapak agar tidak
menyediakan tempat untuk prostitusi di karaoke ini, tapi Bapak marah, berhujung
pada pememecatan,” jelas Jeffry.
“Sudah bakar saja.
Bakar!” pekik para pejubah putih itu keras.
“Allahhuakabar! Ya
Allah…limpahkan laknat-Mu untuk para budak nafsu ini!” lengking suara yang
berjanggut tebal sambil menengadahkan kedua tangnyanya ke langit, diantara
gemuruh kalimat takbir.
Sementara itu, Sekar
yang berada dalam sekapan hanya bisa
pasrah dengan apa pun yang akan menimpanya. Sakit, pedih dan takut adalah
komposisi ampuh, membuatnya serasa lumpuh. Dan tiba – tiba, “huff!” Hamzah
mencul dari balik kerumunan pengguna jubah putih. Melompat raih tubuh Sekar,
belati tajam terhunus mengancam. Hamzah berlari membawa Sekar menghilang
dibalik temaram. Menjauh dan semakin jauh dari tempat terkutuk itu.
Melihat itu pria-pria yang
mengaku Mujahid itu hanya bengong. Seperti anak kehilangan mainan.
Saling menatap. Bicara dengan tatapan.
Merasa situasi aman.
Hamzah menghentikan langkahnya. Sekar menyusul dari belakang. Napasnya
terengah. Hampir pingsan kelelahan.
“Kamu lari terlalu cepat.
Hampir aku tertinggal jauh,” omel Sekar, protes.
“Ah kamu memang keong,”
Hamzah duduk di sisi trotoar dengan setengah menjatuhkan diri.
Sekar mencoba mengenali
wajah dingin Hamzah. Namun nihil. Ini raut muka yang sangat asing. Belum pernah
dikenal sebelumnya.
“Kamu siapa? kok tiba –
tiba muncul dan menyelamatkan aku?” tanya Sekar sembari mengendalikan napasnya
yang belum normal.
“Naluriku. Tidak tega
meihat orang teraniaya,” ujar Hamzah sangat dingin. Kemdian bangkit dan
beranjak meninggalkan Sekar.
“Hei! Mau kemana kamu?”
Sekar mengejar. Meraih bagian belakang jaket hitam Hamzah dan menariknya keras.
“Kamu sudah memaksa aku
ke tempat ini. Terus mencampakan aku begitu saja?” Sekar marah. Kecewa tidak
diperdulikan.
“Kamu sudah selamat
dari orang-orang kalap itu. Di sini aman. Aku mau pergi, kamu pulang saja
sendiri.”
Hamzah mengibaskan
tangan Sekar hingga tubuhnya oleng, hamir tersungkur.
“Heh! Kurang ajar yah!
Aku tidak tahu arah. Tempat ini asing bagiku. Kemana aku harus mencari jalan
untuk menemukan rumah tempat tinggalku?” Sekar terus mengikuti langkah Hamzah. Ia
lari terhuyung ke depan Hamzah. Mencegatnya dengan merentangkan kedua tangan. “Apa
kamu tidak membutuhkan sekedar ucapan terima kasih dari aku yang sudah kamu
tolong? “ rajuk Sekar. Napasnya masih terengah – engah.
Hamzah menyeringai
dingin. Wajah saljunya semakin beku disaput angin tengah malam, menjelang pagi.
Sekar hampir terjengkang ketika Hamzah yang kekar itu menabraknya.
“Hai! Apa ada orang di
sini?“ teriak Sekar. mulutnya hampir nempel ke telinga Hamzah. “Boleh kan aku
meminta sedikit perhatian dari kamu? Meminta tanggung jawab kamu yang sudah membawa
kabur aku ke tempat ini? Boleh kan aku mendengar sedikit suara kamu menanggapi
kata-kata aku? Apa kamu bisu? Kamu dungu, hah?”
“Diam!“ bentak Hamzah
sambil meraih lengan Sekar yang memukuli bahunya.
“Aduh!” ringis Sekar.
Luka bekas pecahan botol di lengannya diremas kuat jemari Hamzah. Darah segar
kembali ke luar, basahi telapak tangan Hamzah. Wajah dinginnya sedikit melumer.
Ada kehawatiran di raut mukanya. Bergegas menarik lengan Sekar ke kedai kopi di
tepi jalan. Kedai kaki lima di selasar depan gedung perkantoran yang hanya operasi
di malam hari. Kedai yang juga menyediakan rokok, obat-obatan, bahkan alat
kontrasepsi.
“Ada obat luka, mas?”
tanya Hamzah.
Sekar duduk di bangku
kayu panjang, membelakangi meja.
“Ada,” sahut pedagang
sambil menyodorkan betadine.
“Sekalian handiplasnya
tiga,” pinta Hamzah. Segera dikeluarkannya obat luka dari kemasan. Memotong
ujung tutup botol plastiknya dengan belati agar berlubang. “Sekalian kapas, mas,”
pintanya lagi.
Pedagang yang baru saja
memberikan handiplas, bergegas mencari kapas. Jadi sibuk juga melayani Hamzah.
“Aduh. Pelan-pelan
dong! Sakit nih!” Sekar merintih, saat Hamzah merekatkan handiplas yang ke-3 di
atas luka.
“Kamu tinggal dimana?”
Sekar menoleh ke Hamzah.
Ia tidak percaya, gunung es itu mulai lumer.
“Jembatan lima.”
“Alah! Aku kira dari
planet Mars, Pluto atau negeri antah berantah. Ini masih Harmoni, neng. Di
depan sana jalan Hayammuruk, masih kawasan Kota. Kenapa tadi merengek-rengek
tidak tahu arah jalan pulang, segala?” hardik Hamzah. “Cepat habiskan minumanmu,
aku antar ke depan. Pakai taksi saja, hari sudah hampir pagi.”
Hamzah membayar semuanya,
walau Sekar mencegah. Keduanya beranjak pergi. Menelusuri selasar ruko yang
sepi.
Dari sebuah lorong
kecil yang gelap, bermunculan 5 orang lelaki berjaket hitam menghentikan
langkah Hamzah. Salah seorang dari mereka mendekap tubuh Hamzah dari belakang.
Satu orang lagi menghantam perut Hamzah dengan kepalnya yang bulat lagi keras.
Hamzah meringis. Sakitnya tak terhingga. Seisi perutnya terasa hancur lebur.
“Tolong!” teriak Sekar,
berharap ada orang yang mendengarnya.
“Diam!” yang satu orang
lagi mendekap Sekar, menyumpal mulutnya dengan telapak tangan. Kasar sekali.
“Jangan menghindar
terus kamu. Dua hari kami mencari, baru ketemu di sini,” ujar yang bertubuh
paling gempal dan berwajah kasar, seraya mengangkat dagu Hamzah dengan jemari
tangan kirinya. Tangan kanan melayang ke pipi kiri, keras sekali. Darah
perlahan mengalir dari sudut bibir Hamzah. “Mana janji kamu melunasi hutang?
Sudah lewat dua hari! Mau lari dari tanggung jawab, yah?” lanjutnya sambil
menggeledah saku celana Hamzah. Dari
dompet yang diambilnya, hanya ada 1 lembar 50.000 dan 4 lembar 2000. Uang itu
diambilnya, sedang dompetnya dilemparkan ke wajah Hamzah.
Melihat Hamzah tidak
berdaya, Sekar berontak melepaskan diri. Tangan yang menyumpal mulutnya digigit
dengan keras. Sambil berbalik, mengayunkan kaki ke selangkangan.
“Aduh!” keluhnya.
Tubuhnya terhuyung, membungkuk menahan nyeri.
“Hentikan!—”teriak Sekar,“—jangan kalian teruskan tindakan bodoh
ini—”lanjutnya. “—berapa hutang yang harus dia bayar? Saya
akan membayar semuanya,” menunjukkan dompet yang diambilnya dari tas kecil
Perhatian ke-5 lelaki
berjaket hitam itu berpaling pada Sekar. Hamzah dicampakan bagai sampah.
Terpuruk di sisi dinding ruko yang sudah tutup. Sekar memburu tubuh lunglai
Hamzah. Memeluknya erat. “Berapa saya harus bayar?“ ulang Sekar. Ia menangis
tersedu. Khawatir melihat kondisi Hamzah.
“Hahahah! Hebat! Heba!”
ledek yang bertubuh gempal. “Pelacur cantik rela berkorban demi si bodoh lagi dungu
ini, rupanya? Hebat! Hebat!” lanjutnya disertai tepuk tangan.
“Heh! cepat bilang, berapa
hutang dia yang harus dibayar?” desak Sekar ingin segara terbebas dari suasana
tidak nyaman ini. Dengan sigap mengambil belati dari pinggang Hamzah dan
dibidkkan ke arah mereka dengan wajah beringas
“Sabar! Sabar! Semua
bisa diatur,” mereka mundur, menjaga jarak. “Cukup 500.000 saja,” sahut Si
Tubuh Gempal, merendahkan suaranya.
Sekar mengambil 5
lembar uang seratusribuan dari dompet dan melemparkannya hingga berhamburan. Dengan
tetap waspada yang bertubuh gempal memunguti uang dari tanah. Berdiri perlahan
terus mencium uang beberapa kali sambil tertawa. Lantas pergi. Menghilang ditelan
lorong kecil yang gelap lagi sepi.
Sekar menyeka darah
yang mulai mengental dari bibir dan dagu Hamzah dengan sapu tangan. Hamzah
menepis tangan Sekar. Berusaha bangkit sambil meringis menahan sakit. Baru
berapa langkah, Hamzah terseok. Sekar menangkapnya namun beban terlampau berat,
mereka jatuh bersamaan.
“Sudah…sudah. Istirahat
saja dulu di sini,” Hamzah dipapah ke lantai depan ruko yang lantainya agak
bersih. Dibaringkan, kepalanya diganjal tas kecil sebagai bantal. “Tunggu
sebentar. Aku kembali ke warung tadi mengambil sisa obat luka dan barang kali
ada obat pereda nyeri yang dijual di situ. Tolong jangan kemana-mana, hanya
sebentar,” pesan Sekar.
Setengah berlari Sekar
kembali, namun Hamzah sudah tidak ada di tempat. Tinggal tas kecil miliknya tergeletak.
Sekar mencari ke sekiling. Sepi. Hamzah seperti hilang ditelan bumi. Di lantai
putih dekat tas kecil miliknya, tertulis kata “pulang!” menggunakan bercak darah.
“Hhmmm…lelaki
misterius,” gumamnya disela helaan napas panjang, melepas beban.
Malam begitu panjang
bagi Sekar. Serangkaian kejadian beruntun, melelahkan. Menyisakan trauma dan
ketakutan. Dibawanya rasa itu dalam sujud shalat subuh, sesampainya di rumah.
Ia tak sempat sekejap pun tidur malam tadi. Mentari menjemputnya sejak di pintu
taksi yang mengantarkannya pulang. Shalat subuh pun agak telat, namun dia harus
menunaikannya. Ada tangis perih yang ingin ditumpahkannya segera. Mohon apun atas
teguran-Nya.
“Ya Allah…Ya Ghaffaar…Ya
Raqiib…yang teramat kuasa mengawasi setiap insan. Maha mampu membaca hati dan
pikiran. Teguran-Mu menggugah kesadaran. Membuat terperangah dari mimpi
melenakan. Hamba sadar salah menentukan jalan. Melanggar segala larangan.
Terbuai harapan yang hamba reka sendiri
dengah kebodohan. Berilah hamba ampunan. Arahkan jalan hamba menuju kebenaran,
jalan yang lurus ke surga yang Kau janjikan.
Ya Allah…hamba sadar,
pilihan ini sangat keliru. Hidup tak mentu, mencari dunia bukan di jalan-Mu. Hamba
tidak memiliki pilihan lain selain jalan itu. Jalan yang hamba harap dapat melihat
senyum bahagia di bibir mungil kedua adik dan ibuku.
Ya Allah…Ya Shomad…hamba
bersimpuh luruh sepenuh hati sungguh tanpa paksa. Hamba lacurkan keimanan ini
dengan sengaja, buntu pikir, akal dan jiwa. Jalan lain di benakku, tiada. Jika
siksa itu kemudian hamba terima, hamba rela asalkan adik dan ibu hamba bahagia.
Aamiin!”
Butiran bening air mata
pun basahi pipi, hingga mukena. Hilang daya. Musnah gairah melanjutkan
perjalanan waktu yang kian gamangkan jiwa Sekar. Ditolehnya putih abu dan hijab
yang tergantung di balik pintu. Bungkus kemunafikan yang harus segera ia
perankan kembali di sekolah. Mengelabui teman-teman dan semua guru dengan
sandiwara dusta. Dalam episode yang terlanjur dinikmatinya.
“Kak…aku harus beli
buku pembahasan soal UN untuk latihan,” rengek Santi, “teman-temanku sudah
punya semua,” lanjutnya.
“Itu bekas kakak kan
ada. Gunakan saja itu dulu. Nanti kalau kakak punya uang, kakak belikan di Senen,”
ujar Sekar sambil memasang tali sepatu.
“Terbitan tahun berapa,
kak. kadaluarsa?”
“Materi soalnya sama
saja, Santi. Hanya cara pendalamannya yang beda. Kan kakak tadi bilang, nanti
kalau kakak punya uang, kakak akan beli yang baru.”
“Terus janji kakak membelikan
sepatu Sadam, gimana kak?” tegur Sadam, adik Sekar yang paling kecil. “Lihat
tuh, sobeknya sudah membesar. Teman – teman selalu mengejek Sadam. Kata mereka
sepatu Sadam lapar, mulutnya mengaga terus minta makan,” Sadam menunjukkan
sepatunya yang sudah menganga lebar bagian depannya.
“Sudah lah Sadam,
Santi, jangan mengganggu kakakmu. Ayo cepat sarapan sana, hari semakin siang,”
lerai bu Sarah diselingi batuk berkepanjangan. Dua tahun sudah bakteri Mikobakterium
tuberkulosa menggerogoti paru-parunya. Bu Sarah harus meminum obat Puskesmas
rutin tanpa putus selama 6 bulan. Penyakit itu pula yang mekmaksa Sekar menjalani
dunia malamnya. Berharap dapat mengobati ibunya di rumah sakit yang lebih baik.
“Pulang
sekolah, jangan lupa mampir ke Puskesmah yah, Sekar. Obat ibu tinggal untuk
siang ini saja.”
“Iya, Bu,”
sahut Sekar.
Pengobatan gratis
di Puskesmas, terasa sangat lamban meredakan sakit Bu Sarah. Sekar merasa
berdosa tidak mampu memberikan yang terbaik untuk ibunya. Uang dari melayani
birahi hidung belang hanya menutupi
kebutuhan makan harian dan kontrakan rumah setiap bulan. Hari ini, malah
dompetnya terkuras habis demi melunasi hutang Hamzah yang misterius.
“Santi,
Sadam. Jangan terlampau banyak menuntut pada kakakmu yah, Nak,” nasihat Bu Sarah. “Yang penting kalian bisa sekolah.
Kurang sedikit-sedikit soal buku, sepatu atau seragam, jangan jadi penghalang
kalian untuk semangat belajar di sekolah. Tujuan kita hanya satu, bagaimana
caranya bisa pintar, menjadi anak shaleh dan shalehah,” lanjut Bu Sarah sebelum
melepas anak – anaknya berangkat ke sekolah. “doa ibu selalu menyertai kalian,
Nak.”
“Ya, Bu,
asalammualaikum!” sahut Sinta dan Sadam bersamaan. Usai mencium tangan ibunya
mereka pun pergi.
“Sekar juga
pamit yah bu. Jangan lupa sarapan, terus minum obatnya,” Sekar mengingatkan.
Memeluk ibunya penuh cinta. Hangat terasa. Meski kemudian batinnya merintih,
sesal menyelinap dalam hati. Dia bukan anak shalehah seperti yang diharapkan
ibunya.
SEKIAN
(Ilustrasi gambar diambil dari )
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEMz2C8HidPV5qbRM8hqLXe35udAv5ooA_NOks8L6Iyf2kGdz1MjaKDUexcyDWNqOvHcjJlEHYpPQeTzCElD0v2qPGt6pE6COsGrxWt341qRq97Ks2xGxEg7mT0aL-K1jncij3FQ-yXZC5/s1600/Gambar-Orang-Sedih-dan-Menangis-33.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar